This essay has been submitted by a student. This is not an example of the work written by professional essay writers.
Music

MAKALAH GEOLOGI INDONESIA “CEKUNGAN PULAU SUMATERA”

This essay is written by:

Louis PHD Verified writer

Finished papers: 5822

4.75

Proficient in:

Psychology, English, Economics, Sociology, Management, and Nursing

You can get writing help to write an essay on these topics
100% plagiarism-free

Hire This Writer

MAKALAH GEOLOGI INDONESIA “CEKUNGAN PULAU SUMATERA”

 

MAKALAH GEOLOGI INDONESIA

“CEKUNGAN PULAU SUMATERA”

 

 

 

UNIVERSITAS PRISMA

 

 

Nama Kelompok:

VALERIE RORING (20817017)

WAHDANIA UMBOH (20817015)

HARKEL PAPIA (20817001)

 

 

 

 

 

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS PRISMA

2020

 

KATA PENGANTAR

 

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR

BAB I

PENDAHULUAN

 

  • Latar Belakang

Pulau Sumatera terletak pada bagian baratdaya dari mikrokontinen Sunda dan merupakan jalur konvergensi antarlempeng yaitu lempeng Indo-Australia yang menyusup ke lempeng Eurasia. Pulau Sumatera terbentuk akibat amalgamasi usur-unsur yang berasal dari benua Asia dan Gondwana. Bagian Gondwana yang beramalgamasi dengan Asia dikenal dengan istilah Sibumasu yaitu (Siam Burma Malaysia dan Sumatera). Pulau Sumatera terbentuk akibat adanya kolisi dan suturing dari mikrokontinen pada Akhir Pra-Tersier. Sumatera terletak pada 5  39’ LU – 5  54’ LS  dan 95  BT – 106  BT dan terdapat pegunungan bukit barisan yang membujur dari utara sampai selatan (Anwar, Damanik, Hisyam dan Whitten, 1984). Berdasarkan letak geografisnya, pulau sumatera terdiri atas dua bagian yaitu wilayah pegunungan dan wilayah dataran rendah. Dataran tinggi terdiri dari lembah-lembah pegunungan yang merupakan bagian dari gugusan bukit barisan yang membelah pulau sumatera. Dalam hal ini kita membicarakan cekungan sedimentasi yang menjadi sumber hidrokarbondi Indonesia yang berada di Sumatera. Secara umum Indonesia memiliki lebih dari 60 cekungan, dengan 22 cekungan telah berproduksi dan terletak di Indonesia bagian barat dan 38 cekungan masih pada tahap eksplorasi dan terletak di Indonesia bagian Timur.

 

  • Rumusan Masalah
  1. Apa yang dimaksud dengan Cekungan Sumatera?
  2. Apa itu Cekungan Belakang Busur Sumatera (Back-Arc Basin)?
  3. Apa itu Cekungan Muka Busur Sumatera (Fore-Arc Basin)?
  4. Apa itu Cekungan Intra-Arc Sumatera?

 

  • Tujuan Penulisan
  1. Mengetahui dasar dari cekungan – cekungan yang ada di Sumatera
  2. Mengetahui tentang Cekungan Belakang Busur di Sumatera
  3. Mengetahui tentang Cekungan Muka Busur di Sumatera
  4. Mengetahui tentang Cekungan Intra-Arc di Sumatera

BAB II

PEMBAHASAN

 

  • Cekungan Sumatera

Pulau Sumatera memiliki fisiografi berorientasi barat laut, terletak di tepi barat Sundaland, perpanjangan selatan Lempeng Benua Eurasia dilengkapi dengan cekungan – cekungannya (Gambar 1).

 

Gambar 1. Peta cekungan dan Tektonik di daerah Sumatera (Darman dan Sidi, 2000).

 

Konfigurasi cekungan pada daerah Sumatera berhubungan langsung dengan kehadiran dari subduksi yang menyebabkan non-volcanic fore-arc dan volcano-plutonik back-arc. Sumatera dapat dibagi menjadi 5 bagian (Darman dan Sidi, 2000):

  1. Sunda outer-arc ridge, berada sepanjang batas cekungan fore-arc Sunda dan yang memisahkan dari lereng trench. Sunda oter-arc ridge dari Sumatera ini sendiri adalah pulau Nias dan Simeulue,
  2. Cekungan Fore-arc Sunda, terbentang antara akresi non-vulkanik punggungan outer-arc dengan bagian di bawah permukaan dan volkanik back-arc Sumatera. Terdapat dua Cekungan fore-arc di Sumatera yaitu Cekungan Sibolga dan Cekungan Bengkulu.
  3. Cekungan Back-arc Sumatera, meliputi Cekungan Sumatera Utara, Tengah, dan Selatan. Sistem ini berkembang sejalan dengan depresi yang berbeda pada bagian bawah Bukit Barisan.
  4. Bukit Barisan atau Barisan mountain range, terjadi pada bagian axial dari pulaunya dan terbentuk terutama pada Perm-Karbon hingga batuan Mesozoik. Daerah bukit barisan ini teradapat pada Area Aceh, Area Toba (Sumatera Utara), Sumatera Tengah, Zona Semangko (Sumatera Selatan).
  5. Intra-arc Sumatera atau Cekungan Intermontane, dipisahkan oleh uplift berikutnya dan erosi dari daerah pengendapan terdahulu sehingga memiliki litologi yang mirip pada fore-arc dan back-arc basin. Cekungan Ombilin termasuk dalam Intra-arc Sumatera.

 

Gambar 2. Penampang skematis Sumatera, menunjukkan hubungan dari subduksi kerak samudera dan vulkanisme (After Eubank & Makki, 1981)

 

Dalam hal ini maka akan dibahas lebih lanjut mengenai Cekungan – Cekungan daripada Sumatera ini, yaitu Cekungan Fore-arc Sunda, Cekungan Back-arc Sumatera, dan Intra-arc Sumatera yaitu Cekungan Ombilin.

 

  • Cekungan Belakang Busur Sumatera (Back-Arc Basin)
    • Cekungan Sumatera Utara

Cekungan Sumatera Utara merupakan cekungan belakang busur (back-arc basin) yang terletak pada bagian utara Pulau Sumatera yang membentang dari Medan sampai ke Banda Aceh dan juga merupakan perpaduan antara cekungan tarik-pisah (pullapart basin) dan half graben basin yang terletak pada bagian tenggara kerak Benua Eurasia. Kerangka tektonik cekungan – cekungan di Sumatera merupakan hasil interaksi Lempeng Benua Eurasia dan tepi utara-tenggara Lempeng Samudra Hindia Australia (Katili, 1975).

Menurut Barber et. al (2005), Cekungan Sumatera Utara merupakan cekungan belakang busur (back arc basin) berisi sedimen Tersier yang diendapkan di atas kompleks metasedimen Pra-Tersier. Secara fisiografi, cekungan ini dibatasi oleh Pegunungan Bukit Barisan di bagian barat, Paparan Malaka di bagian timur, Lengkungan Asahan di bagian selatan, serta Laut Andaman di bagian utara (Darman dan Sidi, 2000).

Cekungan Sumatera Utara terdiri dari subcekungan dan tinggian dengan pola kelurusan utara–selatan dan baratlaut-tenggara, meliputi Tinggian Sigli, Dalaman Jawa, Tinggian Arun-Lhok Sukon, Dalaman Lhok Shukon, Tinggian Alur Siwah, Dalaman Tamiang, Tinggian Hyang Besar, Pakol Horst Graben dan Glaga Horst Graben.

Cekungan Sumatera Utara merupakan cekungan belakang busur (back arc basin) dengan hidrokarbon yang melimpah. Formasi yang berpotensi sebagai batuan induk adalah Formasi Bampo, Formasi Belumai dan Baong Bawah (Pertamina BPPKA, 1995).

 

Tektonik Proses Terbentuk Cekungan Sumatera Utara

Menurut Barber, dkk. (2005), evolusi Cekungan Sumatera Utara terbagi menjadi empat tahap utama (Gambar 3), yaitu:

  1. Pre-Rift (Eosen Akhir);periode ini mencakup seluruh perisitiwa geologi pada awal Tersier yang berupa peregangan (rifting) batuan dasar sebagai fase awal pembentukan cekungan. Saat itu, area Cekungan Sumatera Utara sudah merupakan paparan karbonat dan deltaik. Fase ini menghasilkan Formasi Tampur dan Meucampli yang terdiri dari batupasir, batugamping dan konglomerat polimik.
  2. Syn-rift atau horst and graben stage (Oligosen Awal-Akhir);merupakan fase peregangan yang dimulai dengan sedimentasi klastik kontinen yang sangat dominan dengan sedimen berasal dari baratlaut dan timur kemudian dilanjutkan dengan sedimentasi endapan laut dan darat bersamaan dengan transgresi. Akhir dari peregangan diikuti dengan pengangkatan termal yang menghasilkan ketidakselarasan post-rift regional dan sedimentasi klastik laut mulai dominan dengan lingkungan pengendapan berupa laut tertutup. Saat itu pula terjadi pembedaan antara Bukit Barisan, cekungan belakang busur dan cekungan depan busur. Fase ini menghasilkan Formasi Bruksah/Parapat (batupasir kasar dan konglomerat di bagian bawah, serta sisipan serpih yang diendapkan secara tidak selaras) dan Bampo (serpih hitam dan tidak berlapis, umumnya berasosiasi dengan pirit dan gamping).

 

  1. Post-rift transgresi;merupakan tahapan saat terjadi transgresi regional yang menghasilkan endapan deltaik dan karbonat berkembang di struktur tinggian yang telah ada sebelumnya. Hal ini kemudian menghasilkan Formasi Peutu (batupasir dengan sisipan batubara), Belumai (batupasir glaukonit dengan perselingan serpih dan batugamping) dan Arun (batupasir kalkarenit dan kalsilutit dengan selingan serpih).  Saat transgresi maksimum terjadi, endapan menjadi dominan berbutir halus dengan sedikit interkalasi butiran klastik yang lebih kasar. Hal ini kemudian menghasilkan Formasi Baong Bawah yang terdiri atas serpih laut dengan sedikit sisipan batupasir.

 

  1. Post-rift regresi;merupakan tahapan saat regresi terjadi yang menghasilkan dominasi endapan klastik berbutir kasar (pasir) akibat dari pengangkatan Bukit Barisan dan peristiwa volkanisme. Fase ini menghasilkan Formasi Baong Atas (serpih dengan selingan batupasir yang lebih banyak), Keutapan (perselingan antara serpih, batulempung, beberapa sisipan batugampingan dan batupasir), Seurula (batupasir, serpih, dominan batulempung, batubara dan fragmen batuan volkanik) dan Julu Rayeu (batupasir halus sampai kasar, serpih dengan fragmen batuan volkanik, batulempung). Saat volkanisme, diendapkan satuan volkanik Toba yang dilanjutkan dengan pengendapan alluvial kuarter.

 

Stratigrafi dan Formasi Batuan Cekungan Sumatera Utara

 

Gambar 3. Stratigrafi regional Cekungan Sumatera Utara (Barber dkk., 2005)

 

  • Pre-Tertiary Basement

Batuan dasar Pre-Tersier ini terdiri atas batuan sedimen (konglomerat, batupasir, batulempung, dan batugamping), metasedimen (batugamping termetamorf, argilit, filit, sekis, dan sabak), dan batuan beku (tuf dan granit). Dengan adanya pengamatan dari batuan inti serta radiodating, beberapa batuan sedimen Pre-Tersier nampak ada yang terkekarkan dan tersementasi dengan padat oleh kalsit dan kuarsa; tanpa menunjukkan adanya potensi reservoir (Caughey dan Wahyudi, 1993). Kemudian batuan penyusun tersebut juga sulit dikenali sebagai batuan dasar walaupun data pendukung seperti batuan inti dan cutting telah tersedia. Darman dan Sidi (2000) menyatakan bahwa adanya nilai resistivitas serta kecepatan yang tinggi dari hasil pengukuran wireline log pada batuan dasar umumnya sangat kontras sekali dengan batuan diatasnya. Hal inilah yang mungkin dapat membantu dalam melakukan penentuan batuan dasar.

 

  • Formasi Tampur

Caughey dan Wahyudi (1993), Darman dan Sidi (2000), dan Barber dkk (2005) mendeskripsikan bahwa, Formasi Tampur terdiri atas dolomit yang terkristalisasi secara massif dan batugamping dengan nodul-nodul rijang. Formasi ini merupakan bagian terbawah dari batugamping berukuran konglomerat termasuk biokalkarenit dan biokalsilutit. Sesuai beberapa studi yang ada, batugamping ini diendapkan di lingkungan pengendapan pada sublitoral sampai laut terbuka. Bennett dkk (1981) dalam Barber dkk (2005) menyatakan bahwa penentuan umur dari Formasi Tampur cukup sulit dikarenakan oleh kurangnya data fosil. Oleh karena itu, Formasi ini diasumsikan berkembang dari Eosen-Awal Oligosen baik berdasarkan posisi stratigrafi, korelasi regional, dan data fosil yang tersedia.

 

  • Formasi Meucampli

Formasi Meucampli tersingkap dengan baik di sisi baratlaut dari Sumatera Utara, sekitar sisi paling utara dari Bukit Barisan, dimana formasi ini diendapkan secara tidak selaras di atas batuan dasar Pre-Tersier. Barber dkk (2005) mendeskripsikan formasi tersebut terdiri atas perselingan antara batupasir dan batulempung, batuserpih, dengan penyisipan local oleh batugamping dan konglomerat volkanik polemik. Batupasir yang hadir juga menunjukkan adanya struktur channeling, silang siur, dan graded bedding. Formasi ini diendapkan pada lingkungan pengendapan fluvial, pantai, dan laut tertutup. Adapun seperti Formasi Tampur, formasi ini juga memiliki banyak kekurangan pada data fosil yang ada. Namun, umur dari formasi ini diasumsikan sebagai Eosen sampai Awal Oligosen, berdasarkan posisi dari stratigrafinya.

 

  • Formasi Bruksah dan Bampo

Formasi Bruksah terendapkan secara tidak selaras di atas batuan dasar Pre-Tersier dan dimulai dengan basal breksi konglomerat yang tebal, merepresentasikan fitur kipas alluvial, diikuti dengan ciri warna batuan abu-abu gelap ke terang, mengandung mika, sortasi yang buruk dari batupasir kuarsa, batulempung, dan batulanau, dengan arenit kuarsa tufaan berwarna hijau secara lokal, serta tuf kasar. Barber dkk (2005) menyatakan bahwa batupasir, umumnya, memiliki struktur sedimen silang siur dan mungkin mengandung lapisan batubara yang tipis.

Formasi yang diendapkan setelah Formasi Bruksah, terdiri atas batulepung yang berwarna hitam dan mengandung pyrite, secara lokal terdapat perselingan batupasir mikaan dan karbonan dengan komposisi fauna yang jarang. Secara lokal, hadir pula nodul batugamping yang cukup banyak serta sisipan tufaan. Batulempung yang mengandung pyrite mengindikasikan lingkungan laut tertutup ke arah barat. Caughey dan Wahuydi (1993) menyatakan bahwa pengamatan foraminifera dari singkapan dan contoh batuan dari sumur menunjukkan lingkungan pengendapan laut dangkal-dalam dengan umur Oligosen Akhir sampai Awal Miosen.

 

  • Formasi Belumai/Anggota Malaka

Formasi Belumai dan Anggota Malaka, dalam hal ini, dideskripsikan oleh McArthur dan Helm (1982). Formasi Belumai disusun oleh kalkarenit, batupasir gampingan, dan serpih. Secara lokal, di beberapa tempat terbentuk buildups karbonat dengan bentuk pinnacle dan biohermal reefs. Buildups karbonat yang berkembang di atas batuan dasar atau tinggian Belumai ini secara lokal dinamakan Anggota Malaka. Secara dominan, Formasi Belumai ini berumur Miosen Awal sampai Miosen Tengah.

 

  • Formasi Arun

Formasi ini diendapkan di lingkungan laut terbuka pada umur Oligosen Atas – Miosen Bawah. Formasi ini merupakan batuan reservoar yang terdiri dari batugamping, dimana beberapa bagian tersusun atas dolomit. Pada Formasi Arun banyak ditemukan foraminifera besar Lepidocyclina (canelli dan Miogypsina thecidaeforma) yang mengindikasikan umur Miosen Bawah – Miosen Tengah. Selain itu, terdapat juga foraminifera planktonik seperti Globigerinoides dan Orbulina (Soeparjadi, 1983).

 

  • Formasi Peutu

Formasi Peutu yang telah dideskripsikan oleh Caughey dan Wahyudi (1993) menunjukkan dua perbedaan litofasies:

  1. Fasies batugamping kerangka yang bersih, dicirikan dengan sekumpulan foraminifera besar laut dangkal yang bervariasi. Lingkungan pengendapan purba bermacam-macam mulai dari sublitoral dalam sampai neritic luar/lebih dalam. Gundukan dari Lepidocyclina dan foram besar bentonik lainnya juga hadir di singkapan.
  2. Fasies batugamping lempungan, didominasi oleh foraminifera planktonik. Lingkungan pengendapan purba menunjukkan lingkungan neritic luar sampai bathyal atas.

Berdasarkan observasi paleontologi, kedua litofasies tersebut ternyata memiliki umur yang sama, yaitu Miosen Bawah.

 

 

  • Formasi Baong

Pada sebagian besar dari daerah yang diteliti, Formasi Baong diendapkan diatas Formasi Belumai/Anggota Malaka. Caughey dan Wahyudi (1993) mendeskripsikan Formasi Baong sebagai dominansi batulempung abu-abu dengan lapisan tipis batugamping, secara lokal mengandung fosil, dengan sisipan batupasir. Hasil biostratigrafi dari singkapan dan contoh batuan dari sumur mengindikasikan lingkungan pengendapan laut dalam, dengan rentang umur dari Miosen Tengah sampai Miosen Akhir.

 

  • Formasi Keutapang

Formasi Keutapang terdiri atas perselingan batupasir dan batulempung serta batupasir yang resisten pada bagian atas. Formasi ini secara selaras diendapkan setelah Formasi Baong. Darman dan Sidi (2000) menyatakan bahwa lingkungan pengendapan ini diinterpretasikan sebagai sistem delta yang kaya akan pasir yang berkembang secara progradasi ke arah timur – laut.

 

  • Formasi Seurula

Formasi ini dideskripsikan oleh Darman dan Sidi (2000) sebagai batulempung abu-abu kebiruan yang mengandung fosil dan batupasir konglomeratan, batupasir berukuran sedang sampai halus, dan secara lokal adapun yang kasar. Formasi ini secara selaras menutupi Formasi Keutapang dan memiliki umur Pliosen Awal. Ciri dari formasi ini adalah kurang berkarbon dan kurang menyerpih dari Formasi Keutapang.

 

  • Formasi Julu Rayeu

Formasi yang berumur Pliosen Akhir sampai Pleistosen ini terdiri atas batupasir berukuran halus sampai kasar, batulempung mikaan, dengan fragmen kerang Moluska. Lingkungan pengendapan ini bervariasi dari aluvial sampai paralik.

 

  • Cekungan Sumatera Tengah

Cekungan Sumatera Tengah merupakan cekungan belakang busur (back-arc basin) yang berkembang sepanjang tepi Paparan Sunda di baratdaya Asia Tenggara. Cekungan ini merupakan cekungan minyak utama dan yang paling produktif menghasilkan minyak bumi di Indonesia pada saat ini dan merupakan salah satu cekungan penghasil batubara terbesar di Indonesia dengan peringkat batubara berkisar antara subbituminous – high volatile bituminous C. Cekungan sumatera selatan terletak pada tenggara Pulau Sumatera. Pada sebelah tenggara berbatasan dengan Tinggian Lampung, sebelah baratdaya berbatasan dengan Sesar Semangko, sebelah barat laut berbatasan dengan Pegunungan Duabelas dan Tigapuluh. Cekungan ini terbentuk akibat penunjaman Lempeng Samudra Hindia yang bergerak relatif ke arah utara dan menyusup ke bawah Lempeng Benua Asia yang aktif selama Miosen. Terdapat dua pola struktur utama di Cekungan Sumatera Tengah, yaitu pola-pola tua berumur Paleogen yang cenderung berarah utara-selatan (NS) dan pola-pola muda berumur Neogen Akhir yang berarah baratlaut-tenggara (NW-SE) (Eubank dan Makki, 1981).

 

 

Tektonik Proses Terbentuk Cekungan Sumatera Utara

Menurut Heidrick dan Aulia (1993), perkembangan tektonik selama Tersier dapat dibagi menjadi empat tahap deformasi yang dapat dibedakan dengan jelas, yaitu F0, F1, F2, dan F3 (Gambar 4).

 

Gambar 4. Perkembangan tektonik Tersier di Cekungan Sumatera Tengah

(Heidrick dan Aulia, 1996).

 

  1. Periode Deformasi F0(Pra-Tersier); pada Pra-Tersier terjadi periode deformasi pada batuan dasar yang menyebabkan adanya sesar berarah utara-selatan, baratlaut-tenggara, dan timurlaut-baratdaya (Gambar 5). Penyebab dari deformasi ini belum diketahui dengan baik. Cekungan Sumatera Tengah memiliki batuan dasar yang cukup dangkal sehingga sedimen yang menutupi batuan dasar tersebut mudah dipengaruhi oleh tektonik batuan dasar sehingga banyak dijumpai struktur.

 

Gambar 5. Peta pola struktur utama batuan dasar Cekungan Sumatera Tengah

(Heidrick dan Aulia, 1993).

 

  1. Periode Deformasi F1(Eosen-Oligosen); pada kala Eosen-Oligosen (50-26 Ma) terjadi deformasi ekstensional dengan arah ekstensi barat-timur. Tahap ini memiliki ciri struktur ekstensi berupa rifting yang berkembang sepanjang rekahan batuan dasar yang membentuk graben dan half-graben serta diikuti dengan reaktivasi struktur tua yang terbentuk sebelumnya. Pada saat yang sama tejadi pengendapan Kelompok Pematang ke dalam graben yang terbentuk.

 

  1. Perioda Deformasi F2(Miosen Awal-Miosen Tengah); pada kala Miosen Awal terjadi fasa amblesan dan berhentinya proses pemekaran diikuti oleh pebentukan sesar mendatar menganan secara regional dan pembentukan transtensional fracture zone (Gambar 6). Struktur yang terbentuk pada periode F2 memiliki arah relatif baratlaut-tenggara dan berkembang sesar mendatar menganan pada sesar-sesar tua yang berarah utara-selatan. Akibat sesar mendatar tersebut, pada sesar tua yang berarah timurlaut-baratdaya mengalami transtesional sehingga terbentuk normal fault, graben, dan half-graben, kemudian sesar yang berarah baratlaut-tenggara mengalami transpressional. Tahap ini terjadi bersamaan dengan pengendapan Kelompok Sihapas (26-13 Ma).

 

Gambar 6. Kerangka struktur geologi fasa F2 dan fasa F3 di Cekungan Sumatera Tengah

(Heidrick dan Aulia, 1996).

 

  1. Periode Deformasi F3 (Miosen Tengah-Resen); deformasi yang terjadi berupa kompresi yang menghasilkan struktur reverse dan thurst fault berarah baratbaratdaya-timurtimurlaut di sepanjang sesar mendatar yang terbentuk sebelumnya. Proses kompresi ini bersamaan dengan pembentukan sesar mendatar menganan di sepanjang Bukit Barisan. Struktur yang terbentuk umumnya memiliki arah baratlaut-tenggara dan disertai dengan pengendapan Formasi Petani dan Formasi Minas sampai saat ini.

Gerakan penujaman Lempeng Samudera Hindia terhadap Lempeng Benua Eurasia pada kawasan Sumatera dianggap sebagai penghasil gerak pengangkatan terakhir dari Pegunungan Barisan serta juga telah menyebabkan adanya sesar-sesar mendatar menganan di sepanjang pegunungan ini. Gejala struktur yang paling dominan di cekungan sedimen Tersier tersebut adalah lipatan-lipatan dan sesar-sesar yang berarah baratlaut-tenggara yang berkaitan dengan gejala kompresi.

 

Stratigrafi dan Formasi Batuan Cekungan Sumatera Tengah

Secara umum stratigrafi regional Cekungan Sumatera Tengah tersusun atas beberapa unit formasi, paling tua adalah batuan dasar (basement) selanjutnya Kelompok Pematang selanjutnya Kelompok Sihapas Petani kemudian yang paling muda Formasi Minas.

 

 

Gambar 7. Kolom stratigrafi umum Cekungan Sumatera Tengah (Eubank dan Makki, 1981).

 

Menurut Eubank dan Makki (1981), stratigrafi regional pada Cekungan Sumatera Tengah dibagi menjadi empat unit stratigrafi, yaitu:

 

  1. Batuan Dasar (Basement)

Batuan dasar berumur pra-Tersier ini terbagi menjadi empat satuan litologi (Eubank dan Makki, 1981) (Gambar 7), yaitu:

  1. Mallaca Terrane atau kelompok kuarsit yang terdiri dari kuarsit, argilit, batugamping kristalin, dan pluton-pluton granit dan granodiorite yang memiliki umur Jura. Kelompok ini dapat kita jumpai pada coastal plain di bagian timurlaut.
  2. Mutus assemblages, zona sutura yang memisahkan antara Mallaca Terrane dengan Mergui Terrane. Kumpulan Mutus terletak di sebelah baratdaya coastal plain dan terdiri dari baturijang radiolarian, meta-argilit, serpih merah, lapisan tipis batugamping dan batuan beku basalt.
  3. Mergui Terrane, terletak di bagian barat dan baratdaya dari Kelompok Mutus. Kelompok ini tersusun oleh greywacke, pebbly-mudstone dari Formasi Bahorok, serta kuarsit. Kemudian juga argilit, filit, batugamping, dan tuff dari Formasi Kluet, serta sandstone-shale dan juga terdapat Batugamping Alas.
  4. Kualu Terrane, terletak di bagian baratlaut Kelompok Mergui berumur Perm-Karbon. Kelompok ini tersusun oleh filit, sabak, tuff, dan batugamping.

 

  1. Kelompok Pematang

Kelompok Pematang diendapkan secara tidak selaras di atas batuan dasar yang memiliki umur Eosen-Oligosen. Distribusi sedimen diperkirakan berasal dari blok yang mengalami pengangkatan pada lingkungan fluviatil dan blok lain turun menjadi danau. Sedimen pada kelompok ini umumnya diendapkan pada lingkungan danau, sungai, dan delta. William dan Kelley (1985) membagi Kelompok Pematang menjadi lima formasi, yaitu:

  1. Formasi Lower Red Beds, terdiri atas batulumpur, batulanau, batupsir, dan sedikit konglomerat. Formasi ini diendapkan pada lingkungan rawa atau danau.
  2. Formasi Brown Shale, terdiri atas serpih berlaminasi, kaya material organik, berwarna coklat sampai hitam yang diendapkan pada lingkungan lakustrin. Formasi ini diendapkan di atas Formasi Lower Red Beds dan dibeberapa tempat menunjukkan adanya kesamaan fasies secara lateral. Formasi ini merupakan batuan induk pada Cekungan Sumatera Tengah. Di cekungan yang lebih dalam dijumpai perselingan batupasir yang diperkirakan diendapkan oleh mekanisme arus turbidit.
  3. Formasi Coal Zone, pada beberapa tempat dijumpai hubungan menjari dengan Formasi Brown Shale dan di tempat lain menumpang di atasnya. Litologinya terdiri dari serpih, batubara dan sedikit batupasir.
  4. Formasi Lake Fill, tersusun atas batupasir delta dan fluvial, konglomerat, serta serpih endapan danau dangkal. Formasi ini memiliki ketebalan hingga 2000 kaki dengan proses pengendapan yang cukup cepat pada sistem fluvio-lacustrine-delta yang cukup kompleks.
  5. Formasi Fanglomerat, tersusun dari batupasir dan konglomerat dengan sedikit batulumpur berwarna merah hingga hijau. Formasi ini diendapkan sebagai sistem endapan alluvial fan disepanjang batas gawir sesar. Secara lateral dan vertikal formasi ini mengalami transisi menuju Formasi Lower Red Beds, Foramasi Brown Shale, Formasi Coal Zone, dan Formasi Lake Fill. Formasi Coal Zone, Formasi Lake Fill, dan Formasi Fanglomerat juga dapat disebut dengan Formasi Upper Red Beds.

 

 

 

  1. Kelompok Sihapas

Kelompok Sihapas diendapkan secara tidak selaras di atas Kelompok Pematang pada Oligosen Akhir-Miosen Awal. Kelompok ini terutama terdiri dari batupasir dan serpih. Kelompok Sihapas ini meluas ke seluruh cekungan dan tertutup oleh sedimen laut di bagian atas (Formasi Telisa) yang menunjukkan puncak proses transgresi. Kelompok Sihapas terdiri atas lima formasi, dari tua ke muda yaitu:

  1. Formasi Menggala, merupakan formasi tertua di kelompok ini, dimana bagian deposenter formasi ini memiliki ketebalan lebih 9000 kaki.
  2. Formasi Bangko, berumur Miosen Awal (Zona N1-N2) dan berfungsi sebagai batuan tudung (seal) bagi batupasir yang ada di bawahnya.
  3. Formasi Bekasap, diendapkan selaras di atas Formasi Bangko dan memiliki umur Miosen Awal (Zona N2-N3). Batupasir Bekasap merupakan lapisan sedimen yang secara diakronous menutup Sumatera Tengah dan akhirnya menutup semua tinggian yang terbentuk sebelumnya.
  4. Formasi Duri, berumur Miosen Awal (Zona N3) dan mempunyai tebal lebih dari 300 kaki. Di beberapa tempat umur formasi ini sama dengan umur Formasi Bekasap.
  5. Formasi Telisa, berumur Miosen Awal-Tengah (Zona N4-N5) dan merupakan suatu batuan penutup (seal) regional bagi Kelompok Sihapas dengan ketebalan mencapai lebih dari 9000 kaki.

 

  1. Kelompok Petani

Kelompok Petani di endapkan secara tidak selaras di atas Kelompok Sihapas. Kelompok Petani terdiri dari Lower Petani yang merupakan endapan laut dan Upper Petani yang merupakan endapan laut sampai delta. Formasi ini diendapkan mulai dari lingkungan laut dangkal, pantai dan ke atas sampai lingkungan delta yang menunjukkan penurunan muka air laut.

Formasi Petani tersusun atas batupasir, batulempung, dan batupasir gloukonitan dan batugamping yang dijumpai pada bagian bawah dari seri sedimen tersebut, sedangkan batubara banyak dijumpai pada bagian atas dan terjadi pada saat pengaruh laut semakin berkurang. Batupasir mempunyai komposisi dominan kuarsa, berbutir halus sampai kasar, pada umumnya tipis-tipis, mengandung sedikit lempung dan secara umum mengkasar ke atas. Di beberapa tempat batupasir membentuk lensa-lensa dengan penyebaran yang terbatas yang menunjukkan pengendapan pada lingkungan offshore bar dan delta front/delta lobe sand sejajar dengan pantai purba (paleobeach).

Secara keseluruhan Formasi Petani memiliki tebal 6000 kaki berumur Miosen Akhir-Pliosen Awal. Penentuan umur pada bagian atas Formasi Petani terkadang membingungkan karena tidak adanya fosil laut. Hidrokarbon yang berada pada batupasir Formasi Petani dianggap tidak komersial karena dibagian bawah Formasi ini terdapat batulempung Telisa yang tebal. Gas biogenik terdapat dalam jumlah yang besar dan telah dijadikan target eksplorasi terutama di Lapangan Seng dan Segat.

 

  1. Kelompok Minas

Formasi Minas merupakan endapan Kuarter yang terdapat secara tidak selaras di atas Formasi Petani. Formasi ini tersusun atas pasir dan kerikil, pasir kuarsa lepas berukuran halus sampai sedang serta limonit berwarna kuning yang diendapkan pada lingkungan fluvial sampai darat. Proses pengendapan Formasi Minas masih berlangsung sampai saat ini dan menghasilkan endapan aluvial berupa campuran kerikil, pasir, dan lempung.

 

  • Cekungan Sumatera Selatan

Cekungan Sumatera Selatan termasuk kedalam cekungan busur belakang (Back Arc Basin) yang terbentuk akibat interaksi antara lempeng Indo-Australia dengan lempeng mikro-sunda. Cekungan ini terdiri dari sedimen Tersier yang terletak tidak selaras (unconformity) di atas permukaan metamorfik dan batuan beku Pra-Tersier. Secara fisiografis Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan Tersier berarah baratlaut-tenggara, yang dibatasi Sesar Semangko dan Bukit Barisan di sebelah barat daya, Paparan Sunda di sebelah timurlaut, Tinggian Lampung di sebelah tenggara yang memisahkan cekungan tersebut dengan Cekungan Sunda, serta Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan Tiga Puluh di sebelah baratlaut yang memisahkan Cekungan Sumatera Selatan dengan Cekungan Sumatera Tengah. Cekungan ini dibagi menjadi 4 (empat) sub cekungan (Pulonggono, 1984) yaitu:

1) Sub Cekungan Jambi

2) Sub Cekungan Palembang Utara

3) Sub Cekungan Palembang Selatan

4) Sub Cekungan Palembang Tengah

Di daerah Sumatera Selatan terdapat 3 (tiga) antiklinurium utama, dari selatan ke utara yaitu, Antiklinorium Muara Enim, Antiklinorium Pendopo Benakat dan Antiklinorium Palembang.

 

 

Tektonik Proses Terbentuk Cekungan Sumatera Utara

Menurut De Coster dalam Salim et. al (1995), di cekungan sumatera selatan diperkirakan telah terjadi tiga episode orogenesa yang membentuk kerangka struktur cekungan yaitu orogenesa Mesozoikum Tengah, tektonik Kapur Akhir – Tersier Awal dan orogonesa Plio – Plistosen.

 

  1. Orogenesa Mesozoikum Tengah Terjadi proses metamorfisme, terlipat dan terpatahkan menjadi bongkah dan diintrusi oleh batolit grabit membentuk pola dasar cekungan.
  2. Tektonik Kapur Akhir – Tersier Terjadi fase ekstensi membentuk graben dan horst berarah utara – selatan menjadi struktur tua di cekungan ini.
  3. Tektonik Plio – Plistosen Terjadi fase kompresional yang sangat kuat disertai penyebab pengendapan regresi. Diikuti oleh pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan.

Aktivitas ini menghasilkan antiklinorium yaitu Antiklinorium Muara Enim, Antiklinorium Pendopo – Benakat dan Antiklinorium Palembang (Purnama, 2018)

 

Stratigrafi dan Formasi Batuan Cekungan Sumatera Selatan

 

Gambar 8. Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan (De Coster, 1974).

 

Cekungan Sumatera Selatan merupakan Cekungan Tersier belakang busur, berarah tenggara-baratlaut yang dibatasi oleh Sesar Semangko dan Pegununan Bukit Barisan sebelah baratdaya, Paparan Sunda di sebelah timurlaut, Tinggian Lampung di sebelah tenggara yang memisahkan dengan Cekungan Sunda, serta Pegunungan Duabelas dan Pegunungan Tigapuluh yang memisahkan dengan Cekungan Sumatera Tengah. Stratigrafi Regional Sumatera Selatan dijelaskan oleh De Coster (1974) pada Gambar 8. Unit – unit stratigrafi dinyatakan dalam umur dimulai dari Eosen sampai Kuarter yang di ringkas oleh De Coster (1974) sebagai berikut:

 

  • Batuan Dasar (Basement)

Batuan dasar Cekungan Sumatera Selatan terdiri dari batuan metamorf dan batuan karbonat berumur Paleozoik – Mesozoik, serta batuan beku berumur Mesozoik.

 

  • Formasi Lahat

Formasi Lahat terdiri dari batupasir tufaan, konglomerat, breksi dan batulempung. Batuan tersebut merupakan produk dari sedimentasi benua (continental sedimentation), dan vulkanisme pada tektonisme berumur awal Tersier di Cekungan Sumatera Selatan.

 

  • Formasi Lemat

Formasi Lemat terdiri dari tuffa, batupasir, batulempung, dan breksi. Formasi Lemat berumur Oligosen Akhir.

 

  • Formasi Talang Akar

Formasi ini secara lokal diendapkan langsung diatas Formasi Lemat atau dapat juga langsung diatas batuan dasar, berupa batupasir dan batulempung yang diendapkan di lingkungan delta.

 

  • Formasi Baturaja

Formasi Baturaja terdiri dari platform carbonate atau bank carbonate dan pada beberapa tempat terbentuk sebagai reefal carbonate.

 

  • Formasi Gumai

Formasi Gumai ini biasa disebut juga Formasi Telisa dan diendapkan selama terjadi transgresi maksimum dan berkembang dengan baik ke seluruh Cekungan Sumatera Selatan.

 

  • Formasi Palembang Bawah

Formasi ini terjadi pada saat penyusutan air laut dan terendapkan secara selaras diatas Formasi Gumai. Formasi Palembang Bawah terdiri dari shale dan batupasir.

 

  • Formasi Muara Enim

Formasi Muara Enim ini disebut juga sebagai Formasi Palembang Tengah. Formasi Muara Enim terdiri dari batulempung, serpih, batupasir yang berkomposisi mineral-mineral glaukonit dan batubara.

 

  • Formasi Kasai (Plio – Plistosen)

Formasi ini merupakan formasi termuda dan biasa disebut juga Formasi Palembang Atas. Formasi ini terdiri dari batulempung dan batulempung tufaan, batupasir tufaan, dan tufa, yang merupakan produk erosi dari pengangkatan Pegungan Bukit Barisan dan Pegunungan Tigapuluh.

 

 

  • Cekungan Muka Busur Sumatera (Fore-Arc Basin)

Secara umum, ada dua cekungan depan busur Sunda di Sumatera barat, yang disebut

Cekungan Sibolga di barat laut Sumatera dan Cekungan Bengkulu di barat daya.

 

  • Cekungan Sibolga

Cekungan Sibolga terletak di antara pulau Sumatera dan punggungan busur luar yang berdekatan di sebelah barat dan dianggap sebagai cekungan busur muka (busur luar). Cekungan berjurus utara-barat laut tenggara, rata-rata lebar 110 km dan panjangnya sekitar 800 km (Gambar 9).  Ujung utara berakhir terhadap perpanjangan barat laut Sistem Sesar Sumatera pada sekitar garis lintang 6 ° 30 ‘N. Ujung selatan dari Cekungan Sibolga ditempatkan secara sewenang-wenang di sekitar Pini dan Kepulauan Batu di mana lengkungan dataran rendah berarah barat daya memisahkannya dari cekungan Bengkulu ke tenggara.

Cekungan Sibolga asimetris ke barat daya dengan sedimen Neogen setinggi 6-100 m yang berdekatan dengan punggungan busur luar.  Zona sesar sudut tinggi membentuk batas barat cekungan dan menciptakan struktur sesar strike-slip yang terkait seperti halnya patahan-patahan yang memotong secara diagonal melalui cekungan di sekitar pulau Nias-Banyak.  Terlepas dari Sesar, sebagian besar batuan sedimen Neogen di cekungan tidak terdeformasi.

Gambar 9. Pola structural wilayah lengan NW Sumatera (Karta & Aritonang, di media, di Situmorang & Yulihanto. 1992).

 

Stratigrafi Cekungan Nias

  1. Pra-Neogen

Bagian sedimen pra-Neogen dipisahkan dari batuan Neogen oleh angular unconformity.  Interpretasi seismik menunjukkan beberapa ratus meter batuan sedimen terlipat di bawah unconformity di daerah Meulaboh-Teunom. Rekristalisasi Belemnites telah dilaporkan dalam inti yang mengindikasikan kemungkinan batuan Mesozoikum kecuali fosil-fosil tersebut dikerjakan ulang. Interval Eosen Atas ke Oligosen Bawah didominasi oleh batulempung dengan persilangan kecil serpih, batulanau dan batu pasir.  Mudstone berwarna abu-abu gelap hingga hitam, agak lunak di bagian atas tetapi menjadi lebih gelap dengan kedalaman.  Lingkungan pengendapan dari interval ini diasumsikan untuk disimpan sendiri.  Ketebalan Paleogene intervaranges dari kurang dari 30 m hingga 350 m. Tuff-lava pra-Neogene ditembus di selatan cekungan dengan ketebalan total 31 m.

 

  1. Basal Miocene Clastics

Langsung menutupi ketidakselarasan sudut Paleogen dari urutan batu pasir, serpih, batu bara dan batu kapur kecil.  Di daerah Meulaboh, urutan klastik terdiri dari batu pasir dekat laut dan non-laut, batu pasir, batulanau, dan batu bara.  Pemulihan fosil buruk dalam interval ini mengarah ke usia sementara Mid Miocene hingga Lower Miosen.  Mudstone dan siltstone berwarna gelap, calcareous(berkapur) ke non-calcareous, kuat dan biasanya saling berlapisan.  Batu pasir berwarna abu-abu, berbutir halus hingga sedang, quartzose dengan butiran batu beraneka ragam yang umum dan sedikit berkapur.  Lapisan batu bara memiliki ketebalan sekitar 1 m dan berada dalam lapisan batu lempung.

 

 

  • Cekungan Bengkulu

Cekungan Bengkulu merupakan salah satu cekungan batuan sedimen Tersier di Pulau Sumatera yang termasuk ke dalam cekungan yang berposisi di muka busur (fore – arc). Selama ini cekungan Tersier di Indonesia yang banyak menghasilkan minyak bumi adalah yang termasuk ke dalam cekungan busur belakang.

Berdasarkan berbagai kajian geologi, disepakati bahwa Pegunungan Barisan (dalam hal ini adalah volcanic arc-nya) mulai naik di sebelah barat Sumatera pada Miosen Tengah. Pengaruhnya kepada Cekungan Bengkulu bahwa sebelum Misoen Tengah berarti tidak ada forearc basin Bengkulu, sebab pada saat itu arc -nya sendiri tidak ada. Begitulah yang selama ini diyakini, yaitu bahwa pada sebelum Miosen Tengah, atau Paleogen, Cekungan Bengkulu masih merupakan bagian paling barat Cekungan Sumatera Selatan. Lalu pada periode setelah Miosen Tengah atau Neogen, setelah Pegunungan Barisan naik, Cekungan Bengkulu dipisahkan dari Cekungan Sumatera Selatan. Mulai saat itulah, Cekungan Bengkulu menjadi cekungan forearc dan Cekungan Sumatera Selatan menjadi cekungan backarc (belakang busur).

Proses Pembentukan

Sejarah penyatuan dan pemisahan Cekungan Bengkulu dari Cekungan Sumatera Selatan dapat dipelajari dari stratigrafi Paleogen dan Neogen kedua cekungan itu. Dapat diamati bahwa pada Paleogen, stratigrafi kedua cekungan hampir sama. Keduanya mengembangkan sistem graben di beberapa tempat. Di Cekungan Bengkulu ada Graben Pagarjati, Graben Kedurang-Manna, Graben Ipuh (pada saat yang sama di Cekungan Sumatera Selatan saat itu ada graben-graben Jambi, Palembang, Lematang, dan Kepahiang). Tetapi setelah Neogen, Cekungan Bengkulu masuk kepada cekungan yang lebih dalam daripada Cekungan Sumatera Selatan, dibuktikan oleh berkembangnya terumbu-terumbu karbonat yang massif Highlighter. Pada Miosen Atas yang hampir ekivalen secara umur dengan karbonat Parigi di Jawa Barat. Pada saat yang sama, di Cekungan Sumatera Selatan lebih banyak diendapkan sedimen-sedimen regresif (Formasi Air Benakat/Lower Palembang dan Muara Enim/Middle Palembang) karena cekungan sedang mengalami pengangkatan dan inversi.

Secara tektonik, terjadi perbedaan stratigrafi pada Neogen di Cekungan Bengkulu. Karena Cekungan Bengkulu dalam fase penenggelaman sementara Cekungan Sumatera Selatan sedang terangkat. Karena pada Neogen, Cekungan Bengkulu diapit oleh dua sistem sesar besar yang memanjang di sebelah barat Sumatera, yaitu Sesar Sumatera (Semangko) di daratan dan Sesar Mentawai di wilayah offshore, sedikit di sebelah timur pulau-pulau busur luar Sumatera (Simeulue-Enggano). Kedua sesar ini bersifat dextral. Sifat pergeseran (slip) yang sama dari dua sesar mendatar yang berpasangan (couple strike-slip atau duplex) akan bersifat transtension atau membuka wilayah yang diapitnya. Dengan caraitulah semua cekungan forearc di sebelah barat Sumatera yang diapit dua sesar besar ini menjadi terbuka oleh sesar mendatar (trans-tension pull-apart opening) yang mengakibatkan cekungan-cekungan ini tenggelam sehingga punya ruanguntuk mengembangkan terumbu karbonat Neogen yang masif asalkan tidak terlalu dalam. Di cekungan-cekungan forearc utara Bengkulu (Mentawai, Sibolga, Meulaboh) pun berkembang terumbu-terumbu Neogen yang masif akibat pembukaan dan penenggelaman cekungan-cekungan ini. Dan, dalam dunia perminyakan terumbu-terumbu inilah yang sejak akhir 1960-an telah menjadi target-target pemboran eksplorasi. Sayangnya, sampai saat ini belum berhasil ditemukan cadangan yangkomersial, hanya ditemukan gas biogenik dan oil show (Dobson et al., 1998 danYulihanto, 2000 —  proceedings IPA untuk keterangan Mentawai dan Sibolga Basins).

 

Stratigrafi dan Formasi Batuan Cekungan Bengkulu

 

Gambar 10. Stratigrafi regional cekungan bengkulu

 

 

Gambar 11. Pembagian Satuan Morfologi

 

Berdasarkan Peta Geologi Lembar Manna, Sumatera maka di daerah inventarisasi terdapat 4 formasi batuan di mana urutannya dari tua ke muda adalah sebagai berikut:

  • Formasi Seblat

Formasi Seblat berumur Oligosen AkhirMiosen Tengah. Di daerah penyelidikan batuan yang tersingkap terdiri atas lapisan batupasir berwarna abuabu kecoklatan dengan ukuran butir sedang sampai kasar, perlapisan sejajar. Pada bagian bawahnya terdapat lapisan konglomerat dan lapisan batulempung. Satuan batuan ini terdapat pada bagian timur laut daerah inventarisasi yang menempati sekitar 5% dari seluruh formasi yang ada. Menurut Amin, T.C., dkk (1993), Formasi Seblat ini diendapkan dalam lingkungan laut dangkal.

 

  • Formasi Lemau

Litologi Formasi Lemau terutama terdiri atas breksi dengan sisipan batupasir dan lempung, pada beberapa tempat menyerpih dan mengandung lapisan batubara. Breksi umumnya terdiri dari komponen dasitan dengan ukuran antara 0.5 – 5 cm, menyudut sampai menyudut tanggung. Sisipan batupasir berwarna abu-abu sampai kekuningan dengan ukuran butir halus, klastik dan berkomposisi dasitan, mengandung glaukonit, memperlihatkan perlapisan dan mempunyai struktur sedimen paralel laminasi. Satuan batuan ini menempati bagian tengah lembar peta (hampir 50%) dengan arah sebaran relatif baratlaut-tenggara. Dari adanya kandungan glaukonit formasi ini diperkirakan diendapkan dalam lingkungan laut dangkal.

 

  • Formasi Simpangaur

Formasi Simpangaur berada selaras diatas formasi Lemau. Secara umum litologinya terdiri atas konglomerat dengan sisipan batupasir dan batubara, batulempung dan batulanau. Namun di daerah inventarisasi tidak ditemukan indikasi batubara pada Formasi Simpangaur. Konglomerat dijumpai dengan ukuran komponen antara 0.5 – 2 cm, berwarna abu-abu sampai kecoklatan, pemilahan cukup baik. Batupasir berbutir sedang sampai kasar, karbonan, berlapis tipistipis. Formasi ini tersebar di bagian selatan lembar peta dan menempati sekitar 40% dari seluruh luas formasi yang ada.

 

  • Endapan Permukaan

Endapan permukaan terdiri atas aluvium dan endapan rawa, berupa material-material lepas tak terkonsolidasi, seperti bongkah, kerakal, pasir dan lumpur, mengandung sisa-sisa tumbuhan. Batuanbatuan ini umumnya terdapat di bagian selatan lembar peta yang berupa muara-muara sungai (dekat pantai).

 

  • Cekungan Intra-Arc Sumatera
    • Cekungan Ombilin

Cekungan Ombilin adalah salah satu cekungan intra-pegunungan (intramountain basin) berpotensi migas di Sumatera yang paling banyak dikaji (Noeradi et al., 2005; Zaim et al., 2012; Habrianta et al., 2018). Dalam hal geomorfologi Sumatera secara keseluruhan, Cekungan Ombilin adalah median graben yang terletak antara pegunungan Barisan Timur dan Barat (Gambar 1). Graben median ini memanjang dari selatan Solok dan berjurus barat laut melewati Payakumbuh; jaraknya sekitar 120 km. Menjelang ujung utara cekungan, median graben ditutupi oleh Kuarter dan produk vulkanik baru-baru ini dari gunung berapi Malintang, Merapi, Sihggalang, dan Maninjau.

Cekungan ini dianggap sebagai contoh perkembangan cekungan Paleogen di Indonesia Barat, dimana pengisian cekungan didominasi oleh proses sedimentasi daratan dalam lingkungan kipas aluvial, danau, hingga fluvial. Meskipun ukuran cekungan yang relatif kecil, 1500 km persegi, (Gambar 12), isi cekungan sangat tebal. Hingga 4.600 meter sedimen Tersier, mulai dari Eosen hingga Miosen awal, terawetkan di Cekungan Ombilin (Koning, 1985).

 

Gambar 12. Peta geologi permukaan Cekungan Ombilin (Koning 1985)

 

Perspektif tektonik pembentukan cekungan dikontrol oleh tektonika pisah tarik (pull-apart wrench tectonics) Sistem Patahan Sumatera cekungan ini sering pula didekati dengan analogi proses pembentukan Danau Singkarak yang terletak berdampingan dengan Cekungan Ombilin, yang kemudian mengontrol dinamika sedimentasi di dalamnya.

Cekungan Ombilin dinyatakan sebagai suatu graben yang terbentuk akibat struktur pull-apart yang dihasilkan pada waktu Tertier Awal, yang diikuti dengan tektonik tensional sehubungan dengan pergerakan strike-slip sepanjang zona Patahan Besar Sumatera. Berikutnya terjadi erosi dan patahan, sehingga menghalangi rekonstruksi dari konfigurasi Cekungan Ombilin yang sebenarnya. Cekungan Ombilin pada awalnya lebih luas dari batas-batas tepi cekungan yang ada saat ini. Walaupun begitu, erosi pasca pengendapan telah menghilangkan batas dari cekungan awal. Sesar Tanjung Ampolo telah membelah Cekungan Ombilin dalam ukuran besar dan secara struktural memisahkan cekungan tersebut menjadi dua bagian. Bagian Timur adalah bagian yang turun, sementara bagian barat adalah bagian yang berada di atas, sehingga memperlihatkan bagian lapisan yang di bawahnya (Koesoemadinata dan Matasak, 1981) Patahan Utara-Selatan Tanjung Ampalo membentuk patahan yang megah menonjol dan kelihatan nyata, sebagian patahan yang ditandai dengan adanya suatu tebing yang memisahkan bagian dalam dari Cekungan Ombilin dari daratan

 

Stratigrafi dan Formasi Batuan Cekungan Ombilin

 

 

Gambar 13. Korelasi Stratigrafi dari Cekungan Ombilin (Zaim, et. al. 2012)

 

Secara umum urutan stratigrafi dari endapan pada Cekungan Ombilin dari umur yang lebih tua ke umur yang lebih muda adalah: Pre-Tertiary basement, Formasi Sangkarewang, Formasi Sawahlunto, Formasi Sawahtambang dan Formasi Ombilin

 

  • Formasi Pre-Tertiary basement (Paleozoic-Mesozoic)

Formasi Pre-Tertiary terdiri dari batuan granit, limestone laut dalam dari Formasi Tuhur, limestone massive dan formasi Silungkang dan slate/phylites dari Formasi Kuantan. Batuan Pre-Tertiary basement dari Cekungan Ombilin ini terlihat dengan baik di sekitar batas cekungan sepanjang sisi batas sisi barat Cekungan Ombilin.

 

  • Formasi Sangkarewang (Eocene)

Formasi Sangkarewang memprensentasikan deposisi dari danau air dalam dengan oksigen rendah. Formasi ini terdiri dari interface calcareous shale abu-abu gelap, tipis, struktur tajam dan sandstone tipis. Formasi ini terbentuk dari endapan di Danau purba Sangkarewang yang diendapi oleh serpihan-serpihan karena proses cuaca dan kegiatan tektonik. Sifat calcareous dari formasi tersebut sebagian disebabkan adanya masukan yang terus-menerus dari serpihan calcareous pretertiary.

 

 

  • Formasi Sawahlunto (Eocene)

Formasi Sawahlunto tediri dari shale dari zaman Eocene, siltstone, quartz, sandstone dan batubara (coal) yang ditemui di sebagian besar di wilayah tenggara dari Cekungan Ombilin. Formasi ini juga termasuk coal beds yang ditambang di daerah Sawahlunto. Formasi Sawahlunto meruncing ke arah timur dan selatan dari area Sawahlunto.

 

  • Formasi Sawahtambang (Oligocene)

Formasi Sawahtambang dan Sawahlunto telah terbukti saling overlay atau seperti saling terkait. Keterkaitan antara dua formasi secara paleontology susah ditentukan, karena ketidakhadiran umur fosil diagenetic di antara kedua formasi. Formasi Sawahtambang terdiri dari konglomerat berumur Oligocene, sandstone dan shale yang diendapkan oleh sistem aliran sungai.

 

  • Formasi Ombilin (Early Miocene)

Formasi Ombilin terdiri dari shale abu-abu muda sampai medium, dimana sering calcareous dan biasanya mangandung limestone, sisa-sisa tumbuhan dan sel-sel moluska. Ketebalan limestone pada Formasi Ombilin terlihat sampai ketebalan 200 ft (60 m). Akan tetapi, ketebalan Formasi Ombilin berkisar antara 146 meter sampai 2740 meter ketebalan sesungguhnya dari formasi ini sukar ditentukan karena adanya erosi pasca endapan.

BAB III

KESIMPULAN

 

Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

 

Agustin, M. V., et. al. 2017. Sekuen Stratigrafi Sub-Cekungan Palembang Selatan Berdasarkan Data Pemboran Pada Sumur “SSB”, Kabupaten Musi Waras, Provinsi Sumatera Selatan. Proceeding, Seminar Nasional Kebumian Ke-10.

Ariyanto, Yonas. 2011. Pemodelan Impedansi Akustik Untuk Karakterisasi Reservoar Pada Daerah “X”, Sumatera Selatan. Jakarta: Universitas Indonesia

Astawa, et. al. 2012. Geologi Bawah Permukaan Dasar Laut Perairan Lembar Peta 0421, Daerah Istimewa Aceh. Bandung: Puslitbang Geologi Kelautan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Barber, et. al. 2005. Sumatra, Geology, Resources and Tectonic Evolution. London: The Geological Society

Budiman, et. al. 2018. Hubungan Kuat Tekan Batuan (UCS) Tidak Langsung Dengan Porositas Pada Formasi Keutapang Atas Pada Lapangan Gas Arun, Cekungan Sumatera Utara Dengan Menggunakan Data Log Sonik. Bandung: Padjadjaran Geoscience Journal.

Darman, H. dan Sidi, F.H. 2000. An Outline of The Geology of Indonesia. Ikatan Ahli Geologi Indonesia.

Gani R. M. G., et. al. . Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, Cekungan Sumatra Tengah Dengan Parameter Tiper Material Asal, Kekayaan Dan Kematangan. Bandung: Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

Heidrick, T.L., Aulia, K., 1993. A structural and Tectonic Model of The Coastal Plain Block, Central Sumatera Basin, Indonesia. Indonesian Petroleum Assosiation, Proceeding 22th Annual Convention, Jakarta.

Heryanto, Rachmat. 2006. Perbandingan karakteristik lingkungan pengendapan, batuan sumber, dan diagenesis Formasi Lakat di lereng timur laut dengan Formasi Talangakar di tenggara Pegunungan Tigapuluh, Jambi. Bandung: Jurnal Geologi Indonesia.

Heryanto, Rachmat dan Hermiyanto, Heri. 2006. Potensi batuan sumber (source rock) hidrokarbon di Pegunungan Tigapuluh, Sumatera Tengah. Bandung: Jurnal Geologi Indonesia.

Heryanto, Rachmat. 2007. Kemungkinan Keterdapatan Hidrokarbon di Cekungan Bengkulu. Bandung: Jurnal Geologi Indonesia.

Husein, et. al. 2018. Perspektif Baru Dalam Evolusi Cekungan Ombilin Sumatera Barat. Yogyakarta: Procedding, Seminar Nasional Kebumian Ke-11.

Koesoemadinata, R.P. dan Th. Matasak. 1981. Stratigraphy and sedimentation-Ombilin basin, Central Sumatra (West Sumatra Province). Proceedings of the 10th Annual Convention, Indonesian Petroleum Association p.217-247.

Natasia, et. al. 2017. Analisa Fasies Reservoir A Formasi Menggala Di Lapangan Barumumn Tengah, Cekungan Sumatra Tengah. Bandung: Bulletin of Scientific Contribution.

Pratiwi, Ragil. 2013. Pengaruh Struktur dan Tektonik Dalam Prediksi Potensi Coalbed Methane Seam Pangadang-A, Di Lapangan “DIPA”, Cekungan Sumatera Selatan, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Semarang: Universitas Diponegoro

Setiawan, Ade. 2017. Identifikasi Bawah Permukaan Lapangan Minyak “HUF” Sumatera Selatan Untuk Mendelinia Sistruktur Cekungan Hidrokarbon Berdasarkan Data Gayaberat. Universitas Lampung

Siki, et. al. 2016. Evaluasi Lapisan Batupasir B Formasi Bekasap Lapangan Tri Untuk Menentkan Sumur Infill. Yogyakarta: Promine Journal.

Syafitri, et. al. 2018. Evaluasi Nilai Zat Terbang Batubara Cekungan Sumatra Selatan. Bandung: Padjadjaran Geoscience Journal.

Yuda, et. al. 2017. Aplikasi Konsep Sikuen Stratigrafi dan Pengaruhnya Terhadap Kandungan Total Organic Carbon (TOC) Pada Serpih Formasi Belumai Dan Baong Bawah Sebagai Potensi Batuan Induk Di Lapangan “Dewi” Cekungan Sumatera Utara. Sumatera Utara: Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada dan Pertamina Hulu Energi MNK.

Zaim, et. al. 2012. Depositional History and Petroleum Potential of Ombilin Basin, West Sumatra – Indonesia, Based on Surface Geological Data. Bandung: Search and Discovery Article #10449

 

  Remember! This is just a sample.

Save time and get your custom paper from our expert writers

 Get started in just 3 minutes
 Sit back relax and leave the writing to us
 Sources and citations are provided
 100% Plagiarism free
error: Content is protected !!
×
Hi, my name is Jenn 👋

In case you can’t find a sample example, our professional writers are ready to help you with writing your own paper. All you need to do is fill out a short form and submit an order

Check Out the Form
Need Help?
Dont be shy to ask